Diponegoro santri penegak syariat
Sebagai seorang yang berjiwa Islam,
ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan” (Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830)
Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari
Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati,
keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan
Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya
sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam
bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan
Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menhyebutkan, bahwa saat masih
kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa
ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip
cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel
1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
Suasana
kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak
kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran
Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya,
Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa
bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu
ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar
sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.
Bupati
Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro
pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga
asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen
Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa
Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama
pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat
AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini
mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A.
Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit
Bulan Bintang Jakarta hal. 29).
Dalam Babad Cakranegara disebutkan,
adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk
adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat
adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan
orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip
dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad,
jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad
tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi
raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat
kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung
menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Perang
besar
Dalam bukunya, Beberapa Aspek
Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,. Kareel A. Steenbrink, mencatat,
sebagian besar sejarawan menurut Steenbrink meyepakati bahwa perang Dipnegoro
lebih bersifat perang anti kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1.
Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2.
Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3.
Kekurang adilan di masyarakat Jawa 4. Aneka intrik di istana, 5.
Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang
menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya
untuk kepentingan orang Yogyakarta saja tetapi juga untuk kepentingan Belanda.
Namun
menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih
filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw
dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan
utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari
kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh
pengaruh orang-orang Barat.”
Hal
ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat
penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang
padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama
saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang
Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P.
Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
Kareel
A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para
ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter
Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada
rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris
menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong
Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji,
15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama
Diponegoro.
Bagi
sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal
ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan
kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang
merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali
dua kubu tersebut.
Paduan
motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi
perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir
membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000
jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta
gulden. Total orang jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun
pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu
itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.
Data
ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan
rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal
dengan sorban dan jurbahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan
Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar