Kamis, 10 Januari 2013

KH Muhammad Zaini Abdul Ghani, Mutiara Ummat di Tanah Berlian



Abah guru, begitulah orang-orang memanggil beliau, nama beliau adalah Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Beliau dilahirkan  pada malam Rabu 27 Muharram 1361 Hijriyah atau bertepatan pada tanggal 11 Februari 1942 di desa Dalam Pagar (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar) dari pasangan suami-istri  Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf dengan Hj. Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Abdul Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama H Rahmah.
Sejak kecil Beliau dididik dalam keluarga yang kental akan agama dan sifat-sifat terpuji. Ayah beliau Abdul Ghani bin Abdul Manaf, seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan serta tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Beberapa cerita yang luas beredar di masyarakat adalah pernah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk  satu biji telur, dibagi empat.  Tak pernah sekalipun di antara mereka yang mengeluhkan apa yang mereka alami. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, sang ayah selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada Zaini. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga. Cerita ini menyadarkan dan memberi pelajaran bahwa kesempitan hidup tidak seharusnya menjadi halangan seseorang meraih mimpi, atau memiliki cita-cita tinggi. Ulama terdahulu pun banyak sekali yang berasal kalangan kurang mampu seperti yang tercatat dalam sejarah Islam. Imam syafi’I dan Imam ghozali hanyalah sedikit contoh di antara mereka. Beliau ingin mengajarkan bahwa keterbatasan seseorang sama sekali bukan alasan menggapai impian. Karena itulah beliau, dalam berbagai kesempatan, seringkali menyampaikan perjalanan hidup masa kecilnya agar dijadikan pelajaran oleh orang-orang setelahnya.
Ketika masih kanak-kanak, ia dipanggil Qusyairi. Guru Sekumpul merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari.  Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani sejak kecil selalu berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar membaca Alquran. Semenjak kecil ia sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama. Guru Ijai sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangannya.
 Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, ia mengikuti pendidikan “formal” masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Beliau memiliki guru yang berkharismatik, di antaranya ialah Syekh Syarwani Abdan Bangil,al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi. Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah). Dari beberapa gurunya lagi adalah :Kyai Falak (Bogor),Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah),Syaikh Hasan Masyath,Syaikh Ismail al-Yamani,Syaikh Abdul Kadir al-Bar. Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah:
al-Alim al-Allamah Ali Junaidi (Berau) bin al-Alim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Alim al-Allamah Mufti Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
al -Alim al-Allamah Muhammad Syarwani Abdan Bangil
Beberapa catatan lain, berupa beberapa kelebihan dan keunikan Qusyairi adalah beliau sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hafal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun beliau bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika Qusyairi ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.
  Salah satu pesan Guru Sekumpul adalah tentang karamah, yakni agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugerah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
1. Menghormati ulama dan orang tua
2. Baik sangka terhadap muslimin
3. Murah harta
4. Manis muka
5. Jangan menyakiti orang lain
6. Mengampunkan kesalahan orang lain
7. Jangan bermusuh-musuhan
8. Jangan tamak atau serakah
9. Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
10. Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
Di antara karya tulisnya adalah sebagai berikut :
Risalah Mubaraqah.
Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani.
Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a’zham Muhammad bin Ali Ba’alawy.
Meninggal dunia
Ribuan jamaah rela berdesak-desakan demi mengantarkan Guru Sekumpul menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.
KH Muhammad Zaini Abdul Ghani sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Selasa malam, 9 Agustus 2005, sekitar pukul 20.30, Guru Sekumpul tiba di Bandar Udara Syamsuddin Noor, Banjarbaru, dengan menggunakan pesawat carter F-28.
Pada hari Rabu, tanggal 10 Agustus 2005 pukul 05.10 pagi, Guru Sekumpul menghembuskan napas terakhir dan berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun di kediamannya sekaligus komplek pengajian, Sekumpul Martapura. Guru Sekumpul meninggal karena komplikasi akibat gagal ginjal.
Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.
Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.
Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan shalat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar